Bank Dunia: Hingga 2024, Pertumbuhan Ekonomi Asia Timur dan Pasifik Melemah, 3 Faktor Ini jadi Tantangan Utamanya!

Redaksi Progres
bank dunia/istimewa

KEPAHIANG,PROGRES.IDBank Dunia atau World Bank mencatat bahwa ada tiga kondisi yang dapat melemahkan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia, hingga tahun 2024. Ketiga faktor ini terkait dengan masalah utang yang terus bertambah, perlambatan ekonomi China, dan ketidakstabilan dalam perdagangan dunia.

Dalam laporan World Bank’s East Asia and Pacific (EAP) October 2023 Economic Update, diprojeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik hanya akan mencapai 5% pada tahun 2023, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya pada bulan April 2023 yang sebesar 5,1%. Proyeksi untuk tahun 2024 juga telah direvisi ke bawah menjadi 4,5% dari proyeksi sebelumnya yang mencapai 4,8%.

Bagi Indonesia, proyeksi pertumbuhan ekonominya telah diperbarui menjadi 5,0% dari proyeksi sebelumnya pada bulan April yang sebesar 4,9%. Namun, untuk tahun 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya diproyeksikan sebesar 4,9%, tetap tidak berubah dari sebelumnya. Demikian juga dengan China, proyeksi pertumbuhan ekonominya pada tahun 2023 tetap di 5,1%, namun pada tahun 2024, proyeksi tersebut telah turun dari 4,8% menjadi hanya 4,4%.

Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Kawasan Asia Timur dan Pasifik, Aaditya Mattoo, menjelaskan bahwa salah satu faktor utama yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan utang negara-negara di kawasan ini sejak awal pandemi Covid-19. Hal ini mengakibatkan keterbatasan dalam anggaran fiskal, yang menghambat investasi publik, serta memberatkan investasi swasta.

“Jadi kawasan yang dikenal sebagai kawasan yang hemat, kini mereka mengalami tingkat utang sangat tinggi. Utang yang tinggi ini bukan hanya ditunjukkan oleh satu negara atau pemerintah tapi juga di sektor korporasi atau rumah tangga,” kata Mattoo seperti dilansir CNBC Indonesia, Senin (2/10/2023).

Mattoo menekankan bahwa tingkat utang yang tinggi ini telah meningkat dalam satu dekade terakhir di berbagai negara di kawasan ini. Misalnya, utang pemerintah Indonesia meningkat dari 25% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2010 menjadi 39% dari PDB saat ini. China mengalami peningkatan yang serupa, dari 25% menjadi 51%, begitu pula dengan Thailand dari 28% menjadi 54%, dan Malaysia dari 48% menjadi 60% dari PDB mereka.

Selain itu, utang rumah tangga di Indonesia juga mengalami peningkatan, dari 14% menjadi 16% dari PDB, sedangkan di China, utang rumah tangga melonjak dari 27% menjadi 62%, dan di Thailand dari 59% menjadi 86%. Utang korporasi non-keuangan juga mengalami peningkatan, seperti di Indonesia dari 15% menjadi 25%, China dari 115% menjadi 172%, dan Vietnam dari 74% menjadi 112%.

Mattoo mengingatkan bahwa utang yang tinggi di berbagai sektor ini berarti keterbatasan sumber daya investasi bagi pemerintah, rumah tangga, dan perusahaan.

“Utang yang tinggi di kalangan sektor rumah tangga artinya mereka memiliki sisa uang yang sedikit, sedangkan untuk pemerintah dan korporasi artinya sumber daya investasi pun semakin berkurang,” kata Mattoo.

Faktor kedua yang dapat menghambat pertumbuhan di masa depan adalah perlambatan ekonomi China, yang selama ini menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi di kawasan ini dan dunia. Selain karena peningkatan utang, perlambatan ini juga dipengaruhi oleh masalah sektor properti yang lemah, serta faktor-faktor struktural seperti penuaan populasi.

China juga sedang melakukan reformasi dari model pertumbuhan yang selama ini bergantung pada investasi di infrastruktur dan real estate. Hal ini terutama karena pertumbuhan ekonomi melalui cara tersebut semakin melambat, menyebabkan banyak perusahaan dan rumah tangga berutang lebih banyak dan aset properti mereka mengalami penurunan.

Namun, China juga sedang berusaha untuk melakukan transisi menuju pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dengan meningkatkan konsumsi dan investasi.

“Pada saat yang sama Tiongkok berupaya melakukan transisi dari model pertumbuhan semacam itu, yang bergantung pada konsumsi dan investasi, terutama untuk memastikan pertumbuhannya lebih inklusif,” ucapnya.

Faktor ketiga yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah ketatnya iklim perdagangan global. Selain karena permintaan global yang melambat, ketegangan geopolitik di berbagai wilayah, termasuk antara China dan Amerika Serikat, membuat perdagangan menjadi salah satu alat ketegangan yang digunakan untuk menerapkan kebijakan pembatasan.

Mattoo menekankan bahwa meskipun ada tantangan ini, reformasi di sektor jasa dan pemanfaatan teknologi digital dapat menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan ini pada tahun 2024. Sektor jasa telah terbukti menjadi faktor yang signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir.

“Reformasi jasa dan digitalisasi dapat menghasilkan siklus yang baik dalam meningkatkan peluang ekonomi serta mengembangkan kapasitas sumber daya manusia yang mendorong pembangunan di kawasan ini,” kata Mattoo.