Soal Putusan MA Mengenai Syarat Eks Terpidana Korupsi Ikut Nyaleg, Ini Respons KPU 

Idham Kholik/tvOneNews.com

KEPAHIANG.PROGRES.ID – Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan tanggapan terkait putusan Mahkamah Agung (MA) yang memerintahkan mereka untuk mencabut dua ketentuan yang dianggap memudahkan eks terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

Komisioner KPU Republik Indonesia, Idham Kholik, menyatakan bahwa pihaknya belum menerima salinan putusan MA terkait masalah ini.

“Sampai tanggal 30 September 2023, KPU belum menerima salinan putusan MA Nomor 28 P/HUM/2023 tersebut,” ujar Idham seperti dikutip dari Kompas.com pada Sabtu (30/9/2023).

Idham tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai tindakan apa yang akan diambil oleh KPU sebagai tanggapan terhadap putusan MA tersebut.

Sebelumnya, MA telah mengabulkan uji materi terhadap Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 Ayat (2) PKPU Nomor 11 Tahun 2023 yang membuka peluang bagi eks terpidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg).

MA memerintahkan KPU untuk mencabut dua ketentuan tersebut beserta pedoman pelaksanaannya yang diterbitkan sebagai dampak dari ketentuan-ketentuan tersebut. Pasal 11 PKPU 10/2023 mengatur syarat administratif untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sedangkan Pasal 18 PKPU 11/2023 mengatur syarat untuk menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Ketentuan-ketentuan tersebut menuai kontroversi karena dianggap membuka celah bagi mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai caleg tanpa harus menunggu periode lima tahun yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam putusannya, MA juga menyatakan bahwa Pasal 11 Ayat (6) PKPU 10/2023 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, terutama Pasal 240 Ayat (1) huruf g UU Pemilu bersama dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022. Sementara itu, Pasal 18 Ayat (2) PKPU 11/2023 dianggap bertentangan dengan Pasal 182 huruf g UU Pemilu bersama dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023.

“Dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum,” tulis MA.

MA berpendapat bahwa perlunya syarat ketat dalam proses seleksi calon wakil rakyat untuk mencegah tindak pidana korupsi oleh para wakil rakyat yang terpilih melalui pemilihan umum. MA juga menggarisbawahi bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang sangat serius, dan oleh karena itu, persyaratan ketat diperlukan untuk menghindari dampak buruk terhadap pembangunan dan pengambilan kebijakan publik yang mungkin bersifat koruptif.

“Walaupun memang mekanisme pemilu berdasarkan kehendak rakyat, namun tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada rakyat tanpa persyaratan yang lebih ketat bagi para pelaku/terpidana tipikor, sehingga rakyat tidak akan menanggung resiko sendiri atas pilihannya,” tulis MA.

Dalam penjelasannya, MA juga menekankan bahwa meskipun pemilihan umum didasarkan pada keinginan rakyat, namun tidak boleh dilakukan tanpa adanya persyaratan yang ketat bagi pelaku atau terpidana korupsi. Hal ini dilakukan agar rakyat tidak menanggung risiko dari pilihan mereka sendiri. Oleh karena itu, MA berpendapat bahwa KPU seharusnya mengatur persyaratan yang lebih ketat bagi pelaku kejahatan yang telah dijatuhi pidana pokok dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. Menurut MA, periode lima tahun setelah terpidana menjalani masa pidana adalah waktu yang cukup bagi eks terpidana kasus korupsi untuk merefleksikan diri dan berintegrasi kembali dengan masyarakat, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023.

“Dengan adanya jangka waktu tersebut, masyarakat dapat menilai calon yang akan dipilihnya secara kritis dan jernih,” kata MA.


Exit mobile version