Islam  

Tafsir Mimpi Menurut Pandangan Islam

Progres Kepahiang
ilustrasi tidur
Ilustrasi seorang gadis remaja sedang tertidur (Pexels)

KEPAHIANG.PROGRES.ID – Mengartikan mimpi adalah sebuah disiplin pengetahuan yang paling sulit dipelajari, jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Hal ini dikarenakan mimpi dianggap sebagai bagian dari wahyu kenabian, sehingga tidak semua mimpi dapat diinterpretasikan, dan tidak semua orang memiliki kemampuan untuk dengan sembarangan menafsirkan arti dari sebuah mimpi.

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengelompokkan jenis mimpi menjadi tiga bagian, dan dalam salah satu haditsnya, beliau menjelaskan:

وَالرُّؤْيَا ثَلَاثٌ، الحَسَنَةُ بُشْرَى مِنَ اللَّهِ، وَالرُّؤْيَا يُحَدِّثُ الرَّجُلُ بِهَا نَفْسَهُ، وَالرُّؤْيَا تَحْزِينٌ مِنَ الشَّيْطَانِ، فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ رُؤْيَا يَكْرَهُهَا فَلَا يُحَدِّثْ بِهَا أَحَدًا وَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ

“Mimpi itu ada tiga. Mimpi baik yang merupakan kabar gembira dari Allah, mimpi karena bawaan pikiran seseorang (ketika terjaga), dan mimpi menyedihkan yang datang dari setan. Jika kalian mimpi sesuatu yang tak kalian senangi, maka jangan kalian ceritakan pada siapa pun, berdirilah dan shalatlah!” (HR Muslim).

Dari hadits di atas, kita dapat memahami bahwa tidak semua mimpi yang dialami oleh seseorang dapat dijadikan sebagai petunjuk, karena ada kemungkinan bahwa mimpi tersebut bukan berasal dari petunjuk Allah, melainkan karena pengaruh setan atau pikiran seseorang yang terfokus pada suatu objek tertentu hingga objek tersebut muncul dalam mimpinya.

Mimpi yang dapat dianggap sebagai petunjuk adalah mimpi yang benar-benar berasal dari petunjuk Allah subhanahu wa Ta’ala. Dalam Al-Qur’an, Allah menyatakan:

لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ

“Bagi mereka berita gembira dalam kehidupan dunia dan di akhirat” (QS Yunus: 64).

Makna “berita gembira” dalam ayat tersebut adalah mimpi baik yang dialami oleh seorang Muslim. Dalam salah satu Hadits, makna ayat ini dijelaskan lebih lanjut:

هِيَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ، يَرَاهَا الْمُسْلِمُ، أَوْ تُرَى لَهُ

“Yang dimaksud dengan kegembiraan dalam ayat di atas adalah mimpi baik yang terlihat oleh orang Muslim atau yang diperlihatkan padanya” (HR Ibnu Majah).

Oleh karena itu, dalam beberapa kasus, Nabi Muhammad menggunakan mimpi sebagai dasar untuk menetapkan hukum syariat (Hukum Wadl’i), seperti dalam menentukan pensyari’atan adzan yang didasarkan pada mimpi Abdullah bin Zaid dan Umar bin Khattab. Ini merupakan contoh dari mimpi yang dianggap sebagai petunjuk dari Allah.

Salah satu cara untuk membedakan antara mimpi yang benar-benar berasal dari petunjuk Allah dengan mimpi yang berasal dari setan adalah dengan memperhatikan waktu terjadinya mimpi. Jika mimpi terjadi pada dini hari atau saat sahur, kemungkinan besar itu adalah mimpi yang benar dan dapat diinterpretasikan. Sebaliknya, mimpi yang dianggap sebagai bisikan setan adalah mimpi yang terjadi pada awal malam atau saat petang.

Memahami arti dari mimpi adalah suatu keistimewaan, dan ini tercermin dari pemberian keistimewaan oleh Allah kepada Nabi Yusuf untuk dapat menafsirkan mimpi, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:

وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الْأَرْضِ وَلِنُعَلِّمَهُ مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ وَاللَّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan demikianlah Kami memberikan kedudukan yang baik kepada Yusuf di negeri (Mesir), dan agar Kami ajarkan kepadanya takwil mimpi. Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti” (QS Yusuf:21).

Oleh karena itu, mempelajari ilmu tafsir mimpi bukanlah hal yang terlarang. Bahkan, beberapa ulama memasukkannya dalam kategori ilmu syariat, seperti yang dipandang oleh antropolog Muslim terkemuka, Ibnu Khaldun.

Namun, perlu diingat bahwa sebelum mempelajari ilmu ini, seseorang sebaiknya sudah menguasai ilmu-ilmu syariat yang bersifat fardlu ‘ain, seperti ilmu tauhid, ilmu fiqih, dan ilmu-ilmu syariat lainnya. Hal ini penting agar seseorang memiliki dasar ilmu agama yang kuat dan tidak mudah terperdaya oleh hal-hal gaib yang mungkin hanya merupakan khayalan pribadi atau bisikan setan. Wallahu a’lam.

—————————–

Sumber: NU Online oleh Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember