TikTok Mulai Tergerus, Dari Puncak Popularitas ke Tantangan Baru di Era E-commerce

Redaksi Progres
Foto: AP/Anjum Naveed

KEPAHIANG.PROGRES.ID– TikTok telah menjadi sorotan dunia berkat popularitasnya yang melejit selama pandemi global.

Platform asal China ini berhasil memikat hati para Gen Z dan kini menjadi salah satu media sosial dengan basis pengguna terbesar di dunia.

Namun, kepopuleran TikTok kini mulai menemui tantangan yang serius. Salah satu faktornya adalah hilangnya kontrak antara TikTok dengan Universal Music Group.

Hal ini menyebabkan lagu-lagu dari artis terkenal seperti Taylor Swift dan J Balvin dihapus dari platform tersebut.

Tanda-tanda kejatuhan TikTok semakin jelas dengan data terbaru dari Sensor Tower pada awal 2024 yang menunjukkan pertumbuhan platform ini mulai melambat sepanjang tahun 2023.

Meskipun TikTok pernah menjadi platform dengan jumlah pengguna aktif bulanan terbanyak di dunia, namun pada tahun lalu, Facebook menduduki posisi pertama diikuti oleh WhatsApp, Instagram, dan Messenger.

TikTok harus puas berada di peringkat kelima. Meskipun pertumbuhan pengguna TikTok masih positif sebesar 3% rata-rata tiap kuartal tahun lalu, namun angka tersebut menurun drastis dari sebelumnya yang mencapai 12% rata-rata tiap kuartal pada tahun 2022.

Slate melaporkan bahwa perlambatan pertumbuhan TikTok salah satunya disebabkan oleh jumlah iklan yang semakin melonjak di platform ini untuk mendorong pengguna melakukan pembelian di fitur e-commerce TikTok Shop.

Selain itu, masalah disinformasi dan konten-konten spam yang ditimbulkan oleh kecerdasan buatan juga turut menjadi pemicu.

Tidak hanya itu, ada juga gesekan internal di perusahaan. TikTok dan perusahaan induknya, ByteDance, terlibat dalam kasus dugaan diskriminasi gender dan PHK yang membuat ketegangan di antara para pekerja.

Isu diskriminasi gender ini diyakini telah membuat pertumbuhan dan valuasi TikTok merosot di akhir tahun 2023.

Meskipun demikian, Slate mencatat bahwa TikTok tidak akan menghilang begitu saja. Namun, platform ini akan menghadapi tantangan besar dalam perubahan perannya dari media sosial menjadi platform e-commerce.

Di masa depan, pendapatan TikTok diprediksi akan lebih bergantung pada pembelian langsung oleh konsumen di dalam aplikasi, bukan hanya dari iklan.

Namun, tidak hanya faktor internal yang memengaruhi TikTok. Ketegangan geopolitik antara AS dan China juga telah menyudutkan posisi TikTok.

AS telah melarang penggunaan TikTok di lingkungan pemerintahannya, meskipun Presiden Joe Biden secara mengejutkan membuka akun TikTok untuk keperluan kampanyenya.

 

Sumber: CNBC Indonesia